MENGATASI KEGEMARAN CORAT-CORET ANAK

Kedua anak saya senang sekali corat-coret. Walaupun saya beri buku tulis atau buku gambar, mereka tetap mecuri-curi waktu untuk corat-coret di dinding, meja, kursi, bahkan kasur, bantal, guling, dan baju mereka sendiri pun terkadang menjadi ajang kreasi mereka. Si Sulung yang berusia 6 tahun seringkali menuliskan apa yang dipelajarinya di sekolah, sedangkan si Bungsu yang baru berusia 16 bulan sudah mulai senang corat-corat kendati masih berupa benang kusut. Itulah dunia anak... corat-coret merupakan salah satu cara mereka mengekspresikan diri dan berkreasi.


Biasanya, keinginan kuat untuk corat-coret muncul di usia 2 tahunan. Corat-coretnya tentu saja masih berupa garis-garis semrawut alias benang kusut. Nah, tahap corat-coret seperti ini disebut tahap sribbling. Baru pada usia 3 tahun si kecil mulai bisa menggambar bentuk-bentuk dengan baik, misalnya bunga, gunung, pohon, rumah, orang, dan lain.


Menurut Prof. Dr. S.C. Utami Munandar,Dipl-Psych., kebiasaan anak untuk coret-coret ini berkaitan dengan perkembangan motorik halus si anak. Menurut Beliau, corat-coret bisa membantu dan melatih perkembangan motorik halusnya yang dibutuhkan nanti untuk menggambar, menulis dan sebagainya. Pada awalnya cara memegang alatnya masih kasar, belum halus seperti anak yang sudah besar. Namun semakin lama akan semakin bagus dengan seringnya anak melakukan aktivitas corat-coret ini. Selain itu, aktivitas corat-coret juga merupakan kreativitas alamiah yang ada pada setiap anak dan menjadi "media" untuk anak mengekspresikan dirinya, baik pikiran maupun perasaan. "Jika si anak sedang marah tentu coretan-coretannya akan berbeda dengan ketika ia sedang senang." Itulah mengapa melukis atau menggambar sering dikatakan sebagai katarsis.
Pada anak, lanjut guru besar tetap dan dosen psikologi di Universitas Indonesia ini, yang penting adalah bersibuk diri secara kreatif dan menyenangkan. "Ini diperlukan oleh setiap anak. Karena itu orang tua harus memberikan dukungan kepada anak untuk berkreasi. Jangan malah dilarang."
Kalau anak sering dilarang, terangnya, bisa menghambat kreativitas, spontanitas dan keberaniannya untuk ekspresi diri. Selain itu, bakatnya pun akan sulit berkembang. "Jangan lupa, perkembangan setiap anak itu merupakan hasil interaksi antara pembawaan atau potensi dengan lingkungannya."
Dr. Utami menambahkan, orang tua sebaiknya mendukung dan menyediakan sarana serta prasarana untuk kreativitas. Dalam hal corat-coret, antara lain kertas gambar, papan tulis, kapur warna, pensil warna, bermacam-macam krayon dan sebagainya. "Untuk batita, alat corat-coretnya yang tepat ialah krayon. Ukurannya bermacam-macam, ada yang kecil-kecil dan besar. Yang baik itu ukurannya besar dan tebal, karena anak akan lebih mudah dalam memegangnya."
Sarana dan prasarana ini juga penting untuk memunculkan keinginan corat-coret pada si anak. Sebab, terang Dr. Utami, "Jika anak belum pernah melihat sarana dan prasarananya, maka keinginan untuk corat-coret belum timbul. Namun setelah si anak mulai corat-coret, biasanya segala apa akan dicoreti. Mulai dari kertas, tembok, lantai, sampai baju dan tangan-kakinya sendiri." Nah, bila si anak corat-coret bukan pada tempatnya,ujar Dr. Utami, memang harus dilarang. "Anak harus diajarkan untuk melakukan sesuatu itu pada tempatnya. Setiap anak sejak kecil harus tahu tempat-tempat tertentu yang harus dijaga dan dirawat dengan baik, juga tak merugikan dan mengganggu orang lain."
Caranya melarang anak corat-coret bukanlah dengan hukuman atau larangan ketat, tapi diberikan pengertian dan alternatifnya, sehingga si anak mengerti bahwa corat-coret tak boleh dilakukan di sembarang tempat. Bila anak masih saja sering corat-coret di sembarang tempat, kita harus terus-menerus memberikan pengertian. Menurut Dr. Utami, "Anak memang tak bisa diharapkan langsung berubah hanya dengan satu kali diberi peringatan. Jadi, kita harus terus berulang-ulang memberinya pengertian."
Selain itu, kita seharusnya mengajak anak untuk membersihkan tempat yang dicoretinya ataupun menghapus bekas coretannya. Hal ini dimaksudkan agar anak mengerti bahwa ulahnya itu menyusahkan orang lain dan dirinya sendiri.
Dr. Utami berpesan, "Hukuman bukan hanya menyebabkan anak merasa sakit secara fisik, tapi juga membuatnya tak tahu apa yang harus ia lakukan. Karena hukuman belum memberi tahu tentang perilaku apa yang baik." Beliau pun mengatakan, dengan orang tua memberi peringatan atau mengatakan "Tidak boleh" saja, bagi anak sudah merupakan suatu hukuman. Karena anak akan melihat bahwa orang tuanya tidak senang, sementara setiap anak selalu ingin adanya hubungan kasih sayang antara dirinya dengan orang tua. Sebaliknya, bila orang tua memberi pujian, anak pun akan senang karena terpancar dari raut muka ibunya yang juga senang. Karena itu, kala anak menunjukkan perilaku baik, orang tua hendaknya memberikan reward."
Mengarahkan anak untuk tidak berbuat sesuatu memang tidaklah mudah; membutuhkan kesabaran, strategi, dan pendekatan yang tepat. Sistem punishment and reward pun harus dapat kita aplikasikan dengan bijak. Jangan terlalu banyak memberikan punishment sehingga anak justru akan cenderung menganggap peringatan kita sebagai angin lalu ataupun malah menghambat proses perkembangan dan pertumbuhan mereka. Di sisi lain, reward pun harus kita berikan dengan tidak berlebih-lebihan, tidak harus berupa benda hadiah, yang dapat berakibat anak menjadi gift-oriented. Pujian, belaian, dan ciuman sayang kiranya dapat menjadi reward yang membahagiakan dan memberi motivasi agar selalu berusaha melakukan hal-hal yang baik.

0 Comments:

Post a Comment