SUPER KIDS si ANAK KARBITAN?

Early ripe... early rot.

Anak-anak yang digegas

menjadi cepat mekar...

cepat matang...

cepat layu….


Sekarang ini kita semua mengetahui bahwa pendidikan bagi anak usia dini tengah marak-maraknya, apalagi di kota-kota besar.Para orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahan sedini mungkin. Mulai dari pre-school atau kursus yang ber-SPP terjangkau hingga berbiaya jutaan. Semuanya menawarkan kecakapan intelektual, fisik ataupun seni yang menggiurkan. Namun dari berbagai informasi dan literatur tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak usia dini, tenyata kita dibuat terkejut dengan kenyataan bahwa hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan. Kesalahan yang terjadi karena misperception mengenai label "superkids".
Lembaga-lembaga pendidikan berorientasi pada metode-metode untuk mengakselerasi kemampuan intelektual secara dini. Dengan harapan dapt mencetak "super kids", sang anak ajaib dengan kepintaran intelektual luar biasa.

Pada tahun 1930, kisah seorang "super kid" pernah dimuat majalah New Yorker. Adalah seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater, yang berkat kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang matematika begitu mengesankan sehingga prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian? James Thurber seorang wartawan terkemuka, pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada beberapa waktu silam.

Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada seorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, di mana seorang Ibu yang bernama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan kognitif anaknya, sejak si anak masih berupa janin. Baru saja bayi itu lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian diajak berbicara dengan menggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun, Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun, Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 9 tahun, ia membaca enam buah buku dan koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun, dia masuk universitas. Ketika usianya menginjak 15 tahun, ia menjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun kabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa.

Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa. Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil, mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu. Seperti halnya Einstien yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun.

Selama berpuluh-puluh tahun, orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh faktor kognitif. Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu, banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan “Early Childhood Training”. Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasannya. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri. Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10% saja. Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang di mana-mana, di Indonesia.
“EARLY RIPE, EARLY ROT…!”Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1990 di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Pendidikan dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk. (early ripe, early rot!).Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia SD. Di rumah, para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, yaitu mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn Doman menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca. Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep “kesiapan-readiness “ dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang “biological limititations on learning”. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka segera siap belajar apapun.Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak -anak menjadi “miniature orang dewasa “. Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Belum lagi media begitu merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa; memekarkan bahasa, berpikir dan perilaku anak tumbuh kembang secara cepat.

Pernahkah kita kaji... apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat tumbuh cepat di berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak. Oleh karena perkembangan emosi lebih rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan, cobalah perhatikan, khususnya saat perilaku anak menampilkan gaya “kedewasaan “, sementara perasaannya menangis berteriak sebagai “anak”.

Coba cermati lirik llagu popular yang pernah dinyanyikan suara emas seorang anak laki-laki “Heintje” di era tahun 70-an ini:


I'M NOBODY'S CHILD


I’m nobody’s child

I’m nobody’s child

Just like a flower

I’m growing wild

No mommies kisses

and no daddy’s smile

Nobody’s touch me

I’m nobody’s child.

Lagu yang sangat menyentuh bukan? Anak yang digegas alias anak karbitan ternyata merasa bahwa dia tumbuh dengan liar. Saat seorang anak dikarbit menjadi seorang "super kid" dia kehilangan waktu untuk menikmati kebersamaan dengan orang tua dan teman-temannya. Sekolah dan kursus-kursus yang menyita waktunya membuat dirinya merasa haus akan kasih sayang. Saat kelas akselerasi menyeretnya untuk bergaul dengan orang dewasa ... kehausan ini akan semakin terasa. Sang Super kid akan merasa terasing dikelilingi oleh orang-orang dewasa yang tak berpikiran seperti dirinya dan memahami dirinya. Tak ada kecupan dan belaian sayang yang ia terima layaknya anak seusia dia. Yang ada adalah tuntutan dan tekanan yang begitu berat karena ia harus bertingkah layaknya orang dewasanya agar ia bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Saat kehausan akan kasih sayang ini menggila hingga tak dapat lagi ia bendung... saat itulah hidupnya dalam bencana.

Mudah-mudahan kita dapat menjadi orang tua yang bijak dan mendidik anak-anak kita dengan baik tanpa memaksakan sesuatu yang sulit untuk dijalani dan diraih oleh mereka hanya untuk memuaskan obsesi dan rasa bangga kita.


Referensi: Makalah yang ditulis oleh Dewi Utama Faizah

Direktorat Pendidikan TK &SD Ditjen Dikdasmen Depdiknas


0 Comments:

Post a Comment